Rabu, 09 Juni 2010

Lessons For Today

Dalam suatu perjalanan ke kampus, seperti biasa, aku naik angkot.
Sudah jadi kebiasaanku, naik angkot yang menghabiskan 1 jam perjalanan dari rumah ke kempus, atau sebaliknya, akan aku pakai untuk tidur atau membaca. Kecuali ada penumpang lain yang ngajak ngobrol, baru aku ladeni. Kalopun ga diajak ngomong, biasanya aku tetep menyimak perbincangan para penumpang.

Satu kali, aku berangkat pagi. Kampusku berseberangan dengan RSUD Dr. Soetomo. Jadi sebagian penumpang yang se-angkot denganku adalah pasien rumah sakit yang akan kontrol atau berobat.

Kali ini, aku ga sibuk membaca atau tidur. Aku duduk tenang aja sambil mencuri dengar setiap perbincangan penumpang angkot. Rupanya dua di antara beberapa penumpang merupakan pasien yang rutin hemodialisis (cuci darah) setiap minggu. Kebetulan jadwal cuci darah mereka harinya sama, jadi terlihat sangat akrab. Mungkin karena sudah lama bersama-sama. Pasien pertama sudah menjalani cuci darah selama 2 tahun, yang satunya lagi 16 bulan.

Awalnya sangat berat bagi mereka untuk cuci darah seminggu sekali. Biayanya sangat mahal. Sekali cuci darah bisa menghabiskan biaya sekitar 750 ribu, belum termasuk obat-obatan.
Sekarang mereka tidak perlu lagi membayar biaya cuci darah. Dengan adanya jaminan kesehatan bagi keluarga miskin, mereka tidak perlu mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah lagi. Hanya obat-obatan saja yang harus mereka tanggung sendiri.
Mereka mengakui dulu nyaris menjual rumah atau kendaraan kalau saja biaya cuci darah tidak ditanggung pemerintah.

Penumpang yang lain, seorang ibu, naik angkot dengan menggendong bayinya. Umur bayinya baru 3 bulan. Ibu ini cerita kalau bayinya baru saja menjalani operasi, dan hari itu harus kontrol bekas luka operasinya. Ibu itu menunjukkan bekas luka operasi di bagian kepala. Bayinya baru berusia 1 bulan ketika menderita panas tinggi lalu kejang-kejang. Hasi pemeriksaan, terdapat penggumpalan darah di otak. Jalan satu-satunya adalah operasi. Operasi dijalani waktu bayinya berusia 2 bulan. Sebagian tempurung kepala dipotong untuk mempermudah operasi. Saat ibu ini menunjukkan luka bekas operasi, memang tampak kalau bagian depan kepalanya hanya tertutup kulit kepala, tidak ada tulang yang melindungi. Nanti kalau hasil kontrol membaik, baru tempurung kepala yang dipotong akan disambung kembali...

Dari sakit yang orang-orang itu rasakan, aku ga melihat sedikitpun ada kesedihan dan kesusahan di mata mereka. Mereka berusaha untuk tetap kuat.

Ya Tuhan, macam-macam saja penderitaan yang dialami tiap orang.
Seringkali aku merasa menjadi orang yang sangat kasihan di muka bumi ini. Tapi ternyata masih banyak orang lain yang merasakan penderitaan jauh lebih berat dari aku dan mereka tetap bersukacita.

Hari itu aku belajar untuk tetap mengucap syukur dan bersukacita, seberat apapun kesulitan yang aku hadapi. Diingatkan juga untuk tetap menjaga kesehatan...

Thx God untuk kesempatan di mana aku bisa melihat dan belajar dari kehidupan orang lain...

Tidak ada komentar: