Senin, 05 Juli 2010

Ukuran Sepatu

Ada seorang bapak yang ingin membeli sepatu.
Dari rumah, ia mengukur kakinya dengan seutas tali.
Mulai dari lebar kakinya ia ukur terlebih dulu, kemudian tali itu ditandai.
Lalu bapak itu kembali mengukur panjang kakinya, dan memberi tanda pada tali itu sesuai dengan panjang kakinya.

Setelah selesai mengukur kakinya, bapak itu pergi ke sebuah toko sepatu.
Pelayan toko melayani bapak itu dengan sepenuh hati, mencarikan sepatu yang sekiranya cocok dengan selera bapak itu. Hingga bapak itu menemukan sepatu yang sangat ia sukai modelnya.
Ketika pelayan toko menanyakan ukuran sepatunya, bapak itu sedikit bingung.
Ia baru menyadari kalo tali yang ia pakai untuk mengukur sepatunya tertinggal di rumah.

Bapak itu pun urung membeli sepatu dan pergi meninggalkan toko itu begitu saja dan pulang ke rumah untuk mengambil talinya yang tertinggal.

Kita mungkin akan menertawakan tindakan bapak itu.
Apa sulitnya langsung mencoba sepatu itu dengan kaki sendiri??
Kenapa harus repot mengukur kaki untuk membeli sepatu??
Yaahhh... mungkin itu yang kita pikirkan.

Tapi seringkali, tanpa kita sadari, kitapun melakukan hal seperti yang bapak itu lakukan.
Kita seringkali terpengaruh dengan keadaan di sekitar kita. Misalnya saja, dalam kehidupan ketika bersekolah, sekeliling kita menganggap mencontek adalah hal yang wajar dan lumrah dilakukan. Ukuran masyarakat mengatakan bahwa menyontek tidak masalah asal dilakukan dalam batas yang wajar. Benarkah demikian? Ya, kadang kita membenarkan pemahaman yang jelas salah ini. Lantas kita pun mengabaikan kemampuan diri sendiri dan ikut-ikutan mencontek, karena semua murid melakukannya.

Kita seringkali percaya dengan kata orang lain, percaya kata 'orang pintar', percaya hari baik, percaya kalo kesialan yang menimpa kita adalah nasib, dan sebagainya.
Kita lupa apa yeng benar, kita mengabaikan apa yang baik yang harusnya kita lakukan menurut kehendak Tuhan.
Kita mengukur segala hal sesuai dengan standard kita atau lingkungan sosial di sekeliling kita, tapi kita melupakan kalo hidup kita ini milik Tuhan, yang harusnya segala sesuatu diukur sesuai dengan standard-Nya yang sudah pasti.

Masihkah kita hidup seperti bapak tadi?? kalo saya, jujur iya....
Lantas bagaimana respons kita selanjutnya???

Tidak ada komentar: